Minggu, 27 Februari 2011

KISAH

Kisah Si Kembar dalam Rahim Bunda
Vita Sarasi


Si Kembar mengawali kehidupannya dalam rahim Bunda dengan tidak tahu apa-apa. Selama berminggu-minggu mereka saling memperhatikan dan sementara itu mereka pun bertambah besar. Tangan, kaki dan organ-organ dalam tubuh mereka mulai membentuk. Berangsur-angsur mereka dapat merasakan dengan pancaindera kejadian-kejadian di sekeliling mereka. Tempat tinggal mereka sangat nyaman dan aman dan ini membuat mereka sangat bahagia. Mereka selalu saling mengatakan hal yang sama :
“Bahagia sekali rasanya tinggal di rahim Bunda ya? Kehidupan memang merupakan suatu yang hebat, saudara kembarku!”
Dengan semakin bertambahnya usia, mulailah mereka menjelajahi dunia tempat mereka tinggal. “Apa asal mulanya kehidupan?”, tanya mereka. Ketika mencoba menjawab pertanyaan ini, tiba-tiba mereka menemukan tali pusar, yang menghubungkan mereka dengan Bunda. Mereka sadar, berkat adanya tali pusar itu, tanpa susah payah mereka bisa mendapatkan makanan dan karenanya mereka tumbuh dan hidupnya terjamin.
“Betapa mulianya Bunda kita! Bunda memberikan semua yang kita butuhkan melalui tali pusar ini.”
Waktu berjalan begitu cepat; bulan yang satu diikuti bulan lainnya dan si Kembar pun tumbuh dengan pesat. “Akhir dari perjalanan” mungkin akan segera terjadi. Dengan takjub mereka mengikuti semua perubahan yang terjadi dan tanda-tanda menunjukkan bahwa suatu hari mereka harus meninggalkan dunia yang indah ini.
Semakin mendekati sembilan bulan, semakin kuat mereka merasakan tanda-tandanya. Situasi ini membuat salah seorang dari si Kembar merasa tak aman. Ia lalu bertanya pada saudara kembarnya :
“Saudara kembarku, apa yang sedang terjadi? Apa artinya semua ini?”
Saudara kembar lainnya bersifat lebih tenang dan bijaksana. Lagipula ia merasa tempat tinggalnya yang sekarang menjadi lebih sempit dan dalam hati ia mengidam-idamkan sebuah kehidupan di dunia yang lebih besar. Ia menjawab pertanyaan saudara kembarnya :
“Tanda-tanda ini berarti kita tidak lama lagi akan tinggal di sini”, dan ia menambahkan:
“Lama-kelamaan kita akan mendekati akhir dari kehidupan.”
Mendengar itu saudara kembar lainnya mulai menangis :
“Saya tidak mau pergi dari sini. Saya ingin tinggal di sini selamanya!”
Yang lain menjawab :
“Kita tak bisa melawannya. Siapa yang tahu, mungkin setelah kelahiran ada kehidupan lainnya.”
“Iya, tapi dapatkah kamu jelaskan, bagaimana kita bisa hidup terus, jika kita dipisahkan dari tali pusar, tempat hidup kita bergantung ini? Sebelum kita pasti ada yang lain tinggal di sini dan mereka sekarang telah pergi. Tak satupun dari mereka yang kembali, dan mengatakan pada kita, bahwa ada kehidupan setelah kelahiran bukan? Tidak!! Semua pasti akan berakhir.”
Lalu ia menambahkan :
“Jika begitu, mungkin tidak ada sesuatu yang serupa dengan Bunda.”
Saudara kembar yang lain menyanggah :
“Pasti ada! Jika tidak ada Bunda, bagaimana mungkin kita bisa ada di sini dan hidup terus?”
Yang lain bertahan dengan pendiriannya :
“Pernahkah kamu melihat Bunda kita? Sekali saja? Mungkin Bunda hanya hidup dalam pikiran kita. Kita mereka-reka untuk menghibur diri kalau kita punya Bunda.”
Dan berlalulah hari-hari terakhir mereka dalam rahim Bunda dengan perdebatan dan tanya jawab yang seru.
Akhirnya suatu hari tibalah saat kelahiran. Si Kembar meninggalkan dunianya dalam rahim Bunda, dilahirkan menuju ke dunia yang baru. Mereka mengawalinya dengan sebuah tangisan kegirangan. Di hadapan mereka kini terhampar sebuah pemandangan yang sangat luas. Begitu luasnya bahkan melampaui mimpi-mimpi mereka yang sangat dahsyat selama ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Qur’an Surah Al Insyiqaaq ayat 19, “Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)”. Yang dimaksud dengan tingkat demi tingkat ialah dari setetes air mani sampai dilahirkan, kemudian melalui masa kanak-kanak, remaja dan sampai dewasa. Dari hidup menjadi mati kemudian dibangkitkan kembali.
Frankfurt am Main, 10 November 2006
vitasarasi at yahoo dot com
Judul asli “Gibt es ein Leben nach der Geburt?”, dari buku “Erste Religionskenntnisse fuer Kinder – 2 : Die 32 Vorschriften des Islam in Erzaehlungen”, Asim Uysal dan Muerside Uysal, terjemahan dalam bahasa Jerman oleh Marianne Coyan Zaric, Istanbul.

TAFAKUR

Kisah Sebuah Apel
Diterjemahkan oleh : Vita Sarasi
Ayah Abu Hanifah, Sabit, seorang imam dan cendekiawan sepanjang masa, ketika masih muda telah menjadi seorang yang saleh, jujur dan suka menolong. Ia tidak pernah iri hati pada harta benda milik orang lain. Ia juga berusaha untuk tidak melanggar hak orang lain.
Suatu hari ketika Sabit ingin mengambil wudhu di sungai kecil yang mengalir melalui kebunnya, tiba-tiba ia melihat sebuah apel merah. Apel itu menggelinding di sepanjang sungai. Sabit lalu mengejarnya dan akhirnya berhasil menangkapnya. Ia mengucapkan „Bismillah“, dan ketika baru saja ia menggigit sekerat apel, tiba-tiba ia merasa ada yang bisa mendengarnya. Sabit segera mengeluarkan kembali sekerat apel yang telah digigitnya tadi dari mulutnya, namun apa daya sari buah apelnya telah masuk ke dalam lambungnya. Perasaan sedih datang mencekamnya. Ia telah memakan sekerat apel, tanpa meminta ijin terlebih dahulu pada pemiliknya.
Sabit lalu memutuskan untuk mencari pemilik apel itu agar ia bisa membayar harga apel itu atau memohon maaf padanya. Ia mencoba menelusuri sungai kecil itu dari arah datangnya apel tadi, dengan harapan bisa menemukan pemilik pohon apel itu. Setelah berjam-jam mencari, akhirnya di tepi sungai Sabit melihat ada sebuah pohon apel sedang berbuah. Sabit membandingkan apel yang ada di tangannya dengan apel yang ada di atas pohon. Sabit yakin apel yang ada ditangannya itu berasal dari pohon itu. Ia lalu mendatangi kebun apel itu dan menemui pemiliknya. Sabit bercerita bagaimana ia menemukan apel itu dan memakannya tanpa minta ijin terlebih dahulu, dan sekarang ia akan membayarnya atau memohon maaf. Sabit berkata, „Kalau Anda menghendaki, saya dapat membayar apel ini atau Anda bersedia memaafkan saya.“
Pemilik kebun itu adalah seorang yang alim dan pintar. Ia tahu, dalam pandangan agama tidak ada alasan untuk tidak mengizinkan seseorang makan apel yang ditemukan di pinggir sungai. Ia merenung, „Saya ingin mengetahui, apakah anak muda ini benar-benar seorang yang alim, yang takut pada Allah karena telah melakukan sesuatu yang ia tidak yakin apakah itu benar atau salah. Atau ia hanya seorang pembual bermuka dua, yang hanya ingin menarik perhatian?“ Untuk bisa menjawab pertanyaan itu, akhirnya pemilik kebun apel memutuskan untuk menguji anak muda tersebut. Setelah beberapa saat, pemilik kebun apel berkata dengan roman muka yang masam, „Anak muda, saya tidak bisa begitu mudah memaafkan kamu, saya punya persyaratan untuk itu.“
Sabit muda bertanya dengan ragu-ragu dan tersipu-sipu :
„Apakah persyaratannya?“
„Kamu harus bekerja untuk saya secara cuma-cuma selama tiga tahun. Hanya dengan itu saya bisa memaafkanmu.“
Awalnya Sabit muda bersiteguh untuk membayar apel itu, tetapi pemilik kebun apel tidak mengizinkannya :
„Seperti yang telah saya katakan, kamu bekerja untuk saya selama tiga tahun dan saya akan memaafkanmu.“
Sabit tidak memiliki pilihan lain. Ia harus memperbaiki kesalahannya, supaya ia dimaafkan. Tanpa berpikir panjang lagi Sabit segera menyetujui persyaratan yang sulit itu. Selama tiga tahun ia bekerja untuk pemilik kebun apel.
***
Setelah tiga tahun berlalu, Sabit berkata pada pemilik kebun apel :
„Saya telah bekerja untuk Anda selama tiga tahun, seperti yang Anda inginkan. Sekarang saya berharap Anda telah memaafkan saya.“
Pemilik kebun apel sadar, bahwa anak muda ini, yang sedang berdiri di hadapannya, adalah orang yang luar biasa. Anak muda ini telah memikat hatinya dan karenanya ia tidak akan membiarkan anak muda ini pergi begitu saja. Pemilik kebun apel berkata pada Sabit :
„Anakku! Supaya saya benar-benar bisa memaafkan kisah apel ini, saya punya satu persyaratan lagi. Jika kamu bisa memenuhinya, saya akan memaafkanmu.“
Sabit mendengarkan pemilik kebun apel dengan penuh was-was dan rasa ingin tahu :
„Katakanlah apa syarat kedua itu!“
Pemilik kebun apel menjawab :
„Saya memiliki seorang anak perempuan yang jujur, bijak dan salihah. Tetapi ia tidak dapat menggerakkan tangannya, tidak bisa berjalan, tidak bisa mendengar dan tidak bisa melihat… Jika kamu mau menikahinya, saya akan memaafkan kamu.“
Jujur saja, menikahi seorang wanita cacat, adalah perkara yang sulit. Persyaratan ini sangat berat bagi Sabit. Tapi hidup dengan mengabaikan suara hati nurani, dan ketika kelak meninggal dan akan bertemu dengan Allah, tentunya lebih berat lagi. Sabit merenung, begitu anehnya peran dalam kehidupan yang bisa terjadi, hanya karena menemukan apel yang sedang menggelinding di tepi sungai, lalu menggigitnya tanpa berpikir panjang. Sambil memandang tanah, Sabit berkata :
„Ya, saya menyetujui persyaratan Anda, tetapi Anda sebaiknya memaafkan saya.“
Beberapa hari kemudian, Sabit menikah dengan anak perempuan si pemilik kebun apel secara sederhana. Pada malam harinya, Sabit pergi menuju ke kamar, dimana mempelai wanita telah menunggunya. Di sana ia melihat seorang muslimah impian yang cantik jelita, yang tersenyum padanya. Sabit merasa takjub dan keheran-heranan :
„Ya Allah, saya telah salah masuk kamar.“
Sabit bergegas meninggalkan kamar dan dalam sekejab ayah wanita itu datang menghampirinya. Wajah Sabit memerah dan ia berkata dengan gelisah :
„Maaf, saya telah salah masuk kamar.“
Mertua Sabit menjawab :
„Itu bukan kamar yang salah. Ia adalah anak perempuan saya.“
Sabit berkata :
„Saya sudah menemuinya. Tapi ia bukanlah anak perempuan seperti yang Anda ceritakan pada saya. Ia sama sekali tidak cacat seperti yang Anda katakan.“
Mertuanya berkata sambil tersenyum :
„Anakku! Anak perempuan saya lumpuh, karena ia sampai saat ini tidak pernah memasuki tempat hiburan manapun, ia buta, karena sampai sekarang tidak pernah memandang laki-laki yang tak dikenalnya, ia juga tuli, karena ia selama ini tak pernah mendengar fitnah dan hanya mematuhi Al Qur’an dan kata-kata Rasululllah Shalallaahu Alaihi wa Sallam. Karena alasan itulah saya mempertimbangkan secara mendalam dan akhirnya mengambil keputusan. Saya akan menyerahkan anak perempuan saya padamu, karena saya telah yakin bahwa kamu pantas memilikinya. Karena takut pada sari apel yang telah masuk ke dalam perut, kamu setuju untuk bekerja pada saya, agar kesalahanmu dimaafkan. Alhamdulillah, selama hidup saya, saya tidak pernah makan sesuatu atau memberikan sesuatu yang dilarang Allah pada anak saya untuk dimakan. Anak perempuan saya baik dalam segala hal. Kalian adalah pasangan yang serasi. Semoga Allah Subhanahu wa Ta`ala memberkati kalian dan menganugerahkan kalian anak yang shaleh. Saya memberikan kebun apel ini sebagai hadiah pernikahan kalian. Sekarang, pergilah menemui isterimu.“
Begitu mendengar kata-kata itu, Sabit segera melupakan semua kegundahan di hatinya selama ini dan pergilah ia menuju pasangan hidupnya yang berharga dan sangat dikasihinya. Dari pernikahan ini lahirlah Imam besar Abu Hanifah, yang mengajarkan dasar-dasar Mahzab Hanafi.
Frankfurt am Main, 25 November 2006
vitasarasi at yahoo dot com
Judul Asli „Der Apfel“, Asim Uysal dan Muerşide Uysal, dari buku „Ich erlerne meine Religion : Die fünf Säulen des Islam“, Übersetzung : Marianne Çoyan Zaric.
http://vitasarasi.multiply.com/journal/item/66/Kisah_Sebuah_Apel